By Jawa Pos, Rabu-3 Okt 2012
Jakarta - Para guru SD tidak perlu cemas dengan rencana pemerintah mengepras jumlah mata pelajaran (mapel) dari sebelas menjadi tujuh. Pemerintah memastikan pengeprasan sebagai dampak dari revisi kurikulum itu tidak akan mempengaruhi posisi guru.
Jakarta - Para guru SD tidak perlu cemas dengan rencana pemerintah mengepras jumlah mata pelajaran (mapel) dari sebelas menjadi tujuh. Pemerintah memastikan pengeprasan sebagai dampak dari revisi kurikulum itu tidak akan mempengaruhi posisi guru.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)Khairil Anwar Notodiputro mengatakan,
anggapan pengeprasan mapel itu berdampak pada PHK guru SD tidaklah benar.
”Termasuk tudingan bahwa nanti akan banyak guru SD yang kehilangan jam mengajar
itu juga salah,” katanya.
Khairil mengatakan, pengeprasan mapel tersebut tidak berdampak apa-apa
kepada guru SD karena sistem yang digunakan adalah guru kelas.
Bukan guru mata pelajaran seperti di jenjang SMP
atau SMA/sederajat.
Dengan posisi guru SD yang menjadi guru kelas, berapapun jumlah mapel
yang diajarkan, kewajiban jam mengajarnya tetap sama. Meskipun secara teknis
pelaksanaannya nanti, jumlah mapel yang mereka ajarkan nanti berkurang.
Menurut pejabat dari Madura itu, guru SD tidak perlu lagi cemas atau
bahkan menolak rencana pemerintah memangkas jumlah mapel SD. Termasuk
diantaranya rencana melebur mapel IPA dan IPS menjadi satu mapel, yaitu Ilmu
Pengetahuan Umum (IPU). Menurut dia, rencana penyederhanaan
mata pelajaran itu cukup relevan dengan kemampuan belajar siswa jenjang SD.
Dia mengatakan bahwa KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang
berjalan saat ini sudah tidak relevan lagi. Dengan begitu dituntut adanya
revisi atau pengembangan kurikulum baru.
Khairil mengatakan, pengurangan jumlah mapel di jenjang SD juga
bertujuan memfokuskan upaya pemerintah dalam membentuk karakter bangsa sejak
dini. Belum waktunya siswa SD mengikuti pelajaran yang menyajikan sistem
perhitungan rumit.
Plt Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (Dirjen Dikdas) Kemendikbud
Suyanto menambahkan, pemerintah saat ini menyiapkan rencana baru untuk menambah
jam belajar.
”Jadi, mapelnya berkurang, tetapi jam belajarnya ditambah. Enak, kan,”
katanya. Penambahan jam belajar yang direncanakan diberlakukan mulai tingkat SD
hingga SMA itu perlu mendapat perhatuan para guru.
Sebab, dengan penambahan jam belajar, kasus banyak guru yang jumlah jam
mengajarnya kurang bisa teratasi. Penambahan jam belajar juga berdampak semakin
besarnya peluang guru mengikuti sertifikasi yang salah satu syaratnya adalah
guru wajib mengajar selama 24 jam per minggu.
Sebagaimana diatur dalam Permendiknas (istilah dulu) Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, jumlah jam belajar di
jenjang SD saat ini beragam. Jatah kelas I adalah 26 jam belajar per minggu.
Satu jam belajar berdurasi 35 menit.
Sedangkan kelas II mendapat 27 jam belajar per minggu. Sementara kelas
III memiliki 28 jam belajar per minggu. Khusus kelas IV, V, dan VI dijatah 32
jam belajar per minggu.
Jumlah jam belajar kelas IV, V, dan VI SD itu sama dengan jumlah jam
belajar di SMP. Sedangkan siswa SMA memiliki 38 jam belajar per minggu
Kemendikbud sedang mengkaji sejumlah opsi sistem baru yang terkait
dengan jam belajar itu. Rencananya untuk kelas I, II, dan III SD, jam belajar
ditambah menjadi 30 jam belajar per pekan. Sementara itu, kelas IV, V, dan VI
SD, SMP, serta SMA tetap.
Opsi berikutnya, jam belajar di jenjang pendidikan dasar dan menengah
dipukul rata. Yaitu, para siswa baru bisa pulang pada pukul 16.00 hingga 17.00.
sistem ini merujuk pada sekolah-sekolah yang menerapkan model full day.
Mendikbud Muhammad Nuh mengatakan, khususnya untuk SMA, pemberlakuan
jam belajar sampai sore bisa berdampak positif. Salah satunya, menekan potensi
tawuran pelajar. Seperti diketahui, tawuran pelajar sering terjadi pada siang
hari setelah jam pulang sekolah.
Jika nanti pulang menjelang
malam, dari aspek psikologi mereka ingin segera sampai di rumah dan
beristirahat. Itu terjadi karena tenaga dan konsentrasi mereka sudah dikuras
dalam pembelajaran sejak pagi hingga sore. Aksi tawuran yang marak, menurut
Nuh, terjadi karena, salah satunya siswa kelebihan tenaga, lalu keliru
menyalurkannya. (agoes)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar